Sejarah Perang Salib
Apakah perang salib (491--692 H/1097--1292 M) itu?
Ada yang
menjawab bahwa gerakan itu tidak lepas dari rangkaian pertentangan antara Barat
dan Timur, seperti antara Persia dan Romawi, kemudian lenyap dan meletus lagi
dengan dahsyat dalam bentuk pertentangan agama antara Islam (Timur) dan Kristen
(Barat).
Ada juga yang memberikan jawaban bahwa gerakan itu tidak lepas
dari rangkaian perpindahan penduduk Eropa setelah kejatuhan imperiun Barat pada
abad ke-5. Sebagian lagi menyodorkan jawaban bahwa gerakan itu merupakan
kebangkitan kembali agama di Eropa Barat yang dimulai sejak abad ke-10 dan
mencapai puncaknya pada abad ke-11. Pada abad-abad sebelumnya "jemaah haji"
Kristen ke Bait al-Maqdis dari Eropa Barat bisa dihitung dengan jari. Namun,
pada abad ke-11 datang ratusan jemaah yang dipimpin oleh uskup dan bangsawan
dalam bentuk demonstrasi keagamaan secara damai menuju tempat-tempat suci di
Syam.
Perang Salib yang dikumandangkan mulai tahun 1095 merupakan
wujud 'gerakan haji' secara masal ke Bait al-Maqdis yang sebelumnya dilakukan
secara damai, kini dilakukan melalui peperangan dan permusuhan. Alasannya,
karena di Eropa Barat tersebut tersebar berita-mungkin dilebih-lebihkan, mungkin
pula semacam hasutan dengan menggunakan sentimen agama-bahwa jemaah haji itu
sering mendapat gangguan dari kaum muslimin, terutama setelah dinasti Salajiqah
menguasai Bait al-Maqdis pada tahun 1071, kemudian menguasai Antioch tahun 1085
dan mengusir orang-orang Bizantium dari sana. Inilah yang meyakinkan orang Barat
akan perlunya menggunakan kekerasan dalam rangka pengamanan jemaah haji dari
Eropa Barat ke Syam.
Dr. Said Abd Fatah 'Asyur, dalam bukunya yang diterjemahkan
oleh Syed Ahmad Semait, Perang Salib, menyimpulkan sebagai berikut.
"Perang salib adalah gerakan besar-besaran pada abad pertengahan, yang
bersumber dari Kristen Eropa Barat, berbentuk serangan penjajahan atas
negara-negara kaum muslimin, khususnya di Timur Dekat dengan maksud
menguasainya. Gerakan ini bersumber dari kondisi pikiran, sosial, ekonomi, dan
agama yang menguasai Eropa Barat pada abad ke-11. Tindakan itu diambil setelah
ada permintaan bantuan dari orang-orang Kristen Timur dalam melawan kaum
muslimin dengan memakai tirai agama untuk menyatakan keinginan dirinya agar
terbukti dalam bentuk tindakan secar meluas."
Kondisi masarakat Eropa Barat menjadi penyebab terjadinya
perang salib itu. Motifnya pun sangat kompleks. Baik agama, sosial, politik,
maupun ekonomi semuanya berjalin-kelindan. Faktor agama memang diaktifkan untuk
membangkitkan semangat yang menyeluruh dan kesediaan berkorban. Namun, agama
bukanlah satu-satunya faktor pembangkit perang salib.
Faktor-Faktor Pendorong Perang Salib
Sebab-sebab terjadinya Perang Salib secara umum di antaranya
adalah sebagai berikut.
(1) Adanya desakan dinasti Salajiqah terhadap posisi dan
kedudukan kekuasaan Bizantyium di Syam dan Asia Kecil. Bahkan, Bizantium merasa
lebih terancam setelah Salajiqah memenangkan pertempuran yang sangat menentukan
di Muzikert pada tahun 1071. Karena itu, tidak heran kalau Emperor meminta
bantuan dari Eropa Barat, termasuk dari Paus yang kekuasaannya cukup besar.
(2) Faktor agama. Faktor ini cukup dominan dalam mengobarkan
Perang Salib meskipun persoalannya sebenarnya cukup kompleks. Agama Kristen
berkembang pesat di Eropa Barat terutama setelah Paus mengadakan pembaruan.
Sementara itu, Kristen mendapat saingan agama-agama lain, terutama Islam yang
berjaya mengambil alih kekuasaan Bizantium di Timur yang juga menganut agama
Kristen seperti Siria, Asia Kecil, dan Spanyol. Spanyol adalah benteng Eropa
bagian barat dan Konstantinofel adalah benteng Eropa sebelah timur. Kedua pintu
gerbang ini telah digempur kaum muslimin sejak dinasti Bani Umayyah, dilanjutkan
oleh dinasti 'Abbasiah, kemudian dinasti Saljuq. Oleh karena itu, tidak heran
kalau Eropa merasa gentar menghadapi perkembangan kekuasaaan Islam yang
dianggapnya sebagai pesaing.
Sementara itu, pada abad ke-11 kedudukan Paus mulai diangap
penting. Ia menjadi pemimpin semua aliran Kristen, baik di Barat maupun di
Timur. Ia berambisi untuk menyatukan semua gereja. Pada waktu itu gereja
terpecah menjadi dua: gereja Barat dan gereja Timur, itu terjadi setelah
Konferensi Rum pada tahun 869 M dan Konferensi Konstantinofel pada tahun 879 M.
Mereka berbeda paham tentang roh Kudus.
Paus berusaha menundukan gereja ortodok Timur, tetapi
pertentangan antara gereja Barat dengan kekaisaran Bizantium menghambat niat
Paus ini. Datanglah peluang emas bagi Paus untuk melaksanakan niatnya itu ketika
ada permintaan bantuan dari Bizantium untuk menghadapi tekanan Salajiqah.
Peluang emas ini dimanfaatkan juga agar Paus muncul sebagai pemimpin tunggal
untuk semua rakyat masehi dalam berjuang melawan kaum muslimin, dan sekaligus
bercita-cita menyatukan gereja Timur dan gereja Barat di bawah pimpinan Paus
Butros. Semuanya dilakukan dengan memakai kedok agama untuk memerangi kaum
muslimin, menyelamatkan Bizantium, dan mengembalikan tanah-tanah suci di
Palestina.
Pada tahun 1009 gereja Al-Qiyamah dihancurkan oleh Al-Hakim
sehingga "jemaah haji" Kristen mengalami gangguan ketika melewati Asia Kecil.
Sentimen agama ini terlalu dibesar-besarkan di Eropa Barat. Seorang paderi,
Patriarch Ermite, menjelang perang Salib berkeliling Eropa. Dengan berpakaian
compang-camping, kaki telanjang dan mengendarai keledai, ia berpidato sambil
menceritakan penghinaan pemerintah Saljuq terhadap kesucian Nabi Isa. Dengan
cara ini, ia berhasil mengumpulkan ribuan orang untuk menyerbu Bait al-Maqdis
demi kesucian agama mereka. Karena semata-mata didorong oleh sentimen agama,
tanpa organisasi dan perencanaan yang matang, tentara mereka yang sebagian
rakyat biasa akhirmnya kandas di perjalanan. Begitulah sebagaimana diutarakan
Dr. Shalaby dengan mengutif karya Wells, A Short History of the Midle
East.
(3) Faktor ekonomi. Faktor ini juga turut berperan dalam
mendorong terjadiny Perang Salib. Ketika Eropa Barat-terutama
Prancis-melancarkan propaganda perang Salib, negaranya sedang sedang menghadapi
krisis ekonomi. Karena itu, sejumlah besar golongan faqir dan kaum kriminal
menyambut seruan ini, bukan karena panggilan agama, tetapi karena panggilan
perut. Buktinya, mereka merampok serta merampas makanan dan harta benda sesama
orang Kristen dalam perjalanan menuju Konstantinopel ketika menyerbu Bait
al-Maqdis. Hal ini sebenarnya bertentangan dengan ajaran agama mereka.
Selain itu, saat itu timbul "tiga besar" (Venice, Genoa, dan
Pisa) yang ditopang oleh pemerintahan Italia, yang memberikan bantuan terutama
berupa armada laut. Pemerintah Italia bermaksud hendak menguasai dan menduduki
pelabuhan-pelabuhan timur dan selatan Mediterania, seperti pelabuhan-pelabuhan
di Syam, supaya perdagangan Timur dan Barat dapat mereka kuasai.
Kepentingan ekonomi ini nampak ketika tentara Salib mengarahkan
serangannya ke Mesir.
(4) Faktor sosial-politik juga memainkan peranan yang dominan dalam konflik Perang Salib ini. Hal itu dapat dilihat dari gejala berikut.
(4) Faktor sosial-politik juga memainkan peranan yang dominan dalam konflik Perang Salib ini. Hal itu dapat dilihat dari gejala berikut.
Pertama, masyarakat Eropa pada abad pertengahan terbagi
atas tiga kelompok: (1) kelompok agamawan yang terdiri dari orang-orang gereja
dan orang-orang biasa; (2) kelompok ahli perang yang terdiri dari para bangsawan
dan penunggang kuda (knights); dan (3) kelompok petani dan hamba sahaya.
Dua kelompok pertama merupakan kelompok minoritas yang secara keseluruhan
merupakan institusi yang berkuasa dipandang dari segi sosial-politik yang
aristokratis, sedangkan kelompok ketiga merupakan mayoritas yang dikuasai oleh
kelompok pertama dan kedua, yang harus bekerja keras terutama untuk memenuhi
kebtuhan kedua kelompok tersebut. Karena itu, kelompok ketiga ini secara spontan
menyambut baik propaganda perang Salib. Bagi mereka, kalaupun harus mati, lebih
baik mati suci daripada mati kelaparan dan hina, mati sebagai hamba. Kalau
bernasib baik, selamat sampai ke Bait al-Maqdis, mereka mempunyai harapan baru:
hidup yang lebih baik daripada di negeri sendiri.
Kedua, sistem masyarakat feodal, selain mengakibatkan
timbulnya golongan tertindas, juga menimbulkan konflik sosial yang merujuk
kepada kepentingan status sosial dan ekonomi, misalnya sebagai berikut. (1)
Sebagian bangsawan Eropa bercita-cita, dalam kesempatan perang Salib ini,
mendapat tanah baru di Timur. Hal ini menarik mereka karena tanah-tanah di Timur
subur, udaranya tidak dingin, dan harapan mereka bahwa tanah itu aman di banding
dengan di Eropa yang sering terlibat peperangan satu sama lain. Dalam proses
perang Salib nanti akan nampak bahwa dorongan ini merupakan faktor terlemah
tentara Salib karena timbul persaingan bahkan konflik.
(2) Undang-undang masyarakat feodal mengenai warisan
menyebabkan sebagian generasi muda menjadi miskin karena hak waris hanya
dimiliki anak sulung. Dengan mengembara ke Timur, melalui perang Salib,
anak-anak muda ini berharap akan memiliki tanah dan memperoleh kekayaan.
(3) Permusuhan yang tak kunjung padam antara pembesar-pembesar
feodal telah melahirkan pahlawan yang kerjanya hanya berperang. Kepahlawanan
dalam berperang adalah kesukaan mereka. Ketika propaganda perang Salib
dilancarkan, mereka bangkit hendak menunjukan kepahlawanannya. Kepahlawanan
mereka selama ini disalurkan melalui olahraga sehingga mereka kurang memperoleh
kepuasan.
(4) Besarnya kekuasaan Paus pada abad pertengahan, yang nampak
dari ketidakberdayaan raja untuk menolak permintaan Paus. Kalau raja menolak, ia
dikucilkan oleh gereja yang mengakibatkan turunnya wibawa raja di mata rakyat.
Hal ini terbukti ketika raja Frederik II terpaksa turut berperang dengan membawa
tentara yang sedikit, dan membelok ke Syam ketika ia seharusnya memberikan
bantuan ke Mesir (Dimyat). Ia tidak bersemangat untuk berperang. Ia menghubungi
Sultan al-Malik al-Kamil untuk menerangkan posisinya bahwa ia tidak membawa misi
suci (dorongan gereja). Karena itu, ia memintanya untuk menjaga rahasianya
(menipu Paus) agar tidak diketahui orang Jerman.
Nanti akan kita lihat bahwa Frederik II menempuh perdamaian
dengan Al-Kamil, suatu perdamaian yang oleh Paus dianggap tidak memuaskan.
Demikianlah uraian tentang beberapa sebab dan motif terjadinya
Perang Salib yang oleh K. Hitti disebutkan sebagai "Complexity on causation
and motivation".
Para ahli sejarah meyakini bahwa sentimen agama pertama kali
dikobarkan oleh Paus Urban II melalui khotbahnya tanggal 26-11-1095, di Council
of Clermont. Council ini dihadiri oleh orang-orang gereja dan raja-raja Eropa.
Seruan Paus yang terkenal dan cukup efektif antara lain: "Enter upon the road
to the holy spulcrhe, wrest it from the wicked race and subject it".
(Nurhakim Zaki)
----------------------------------
Ada beberapa penafsiran tentang berapa kali Perang Salib itu
terjadi. Batas antara Perang Salib yang satu dengan yang lainnya secara pasti
tidak dapat ditentukan. Menurut K. Hitti tiga kali, menurut Shalaby tujuh kali,
sedangkan menurut Sa'ad Abd Fatah 'Asyur delapan kali. Karena itu, untuk
memastikan kebenarannya, perlu penelitian lebihn lanjut. Saya akan menguraikan
apa yang ditulis Syalaby.
Perang salib I
Ide Perang Salib I bersumber dari pidato Paus Urban II pada
tahun 1095 di Clermont, daerah tenggara Prancis. Ia menganjurkan perang suci
melawan kaum muslimin di Timur dengan satu teriakan: "Inilah kehendak Tuhan"
(Deus vult). Hal ini sebagai hasil pendekatan berkali-kali kepada Paus
Urban II oleh Emperor Alexius Comnenus yang posisinya sedang terdesak di Asia
kecil oleh dinasti Saljuq. Pada tahun 1097 sebanyak 150.000 orang, sebagian
besar dari Jerman dan Normandia, dikerahkan dalam tiga angkatan di bawah
pimpinan Raja Godfrey, Raja Bohemond, dan Raja Raymond. Mereka bertemu di
Konstantinofel.
Tetapi, tampaknya tidak semua raja di Eropa menopang gerakan
salib ini. Dalam pertemuan bersejarah di Clermont itu, ada juga yang tidak hadir
untuk menyatakan keikutsertaannya. Dari semula Paus Urban II merasa perlu
dukungan dari kekuatan sekular. Para uskup bersidang dan mengeluarkan keputusan
yang menyatakan bahwa setiap yang turut serta dalam perang suci akan mendapatkan
pengampunan dosa dan kekayaan para bangsawan selama berperang dalam pengamanan
gereja. Sidang itu juga menghasilkan kesepakatan, sebagai simbol gerakan, bahwa
pakaian setiap orang yang turut berperang akan diberi tanda salib merah pada
bagian pundak dan punggung dan gerakan diarahkan menuju Konstantinofel.
Keputusan lainya, siapa saja yang pulang tanpa menunaikan tugasnya akan menerima
hukuman dari gereja.
Angkatan Perang Salib I ini terdiri dari tiga kelompok.
Kelompok pertama dipimpin oleh Raja Godfrey of Bouillon dari Lorraine dan
saudaranya, Baldwin. Kelompok kedua dipimpin oleh Bohemond dari Normandia. Dan,
angkaan ketiga dipimpin oleh Raymond IV dari Provinve, yang didampingi utusan
pribadi Paus, Uskup Adheman. Di samping itu, Raymond memperingatkan Paus akan
pentingnya bantuan dari Genoa, yaitu bantuan angkatan lautnya. Akhirnya, Gemoa
memberikan bantuan dua belas kapal perang untuk menopang Perang Salib ini.
Karena itu, Genoa mendapat hak atas pelabuhan-pelabuhan Syiria.
Ketiga kelompok tentara Salib tersebut, setelah sampai di
Konstantinofel, harus tunduk kepada pimpinan dan komando Kaisar Alexius Comenus.
Pada mulanya ada perlawanan terutama dari Godfrey dan Raymond. Namun, akhirnya
mereka terpaksa tunduk kepada kekuasaan Bizantium. Di samping itu, Kaisar
Bizantium dapat memaksakan suatu perjanjian: "Setelah menaklukan daerah-daerah
di Asia Kecil dan dan di Syam, para raja harus mengembalikan daerah-daerah bekas
kekuasaan Bizantium yang di rebut oleh Saljuq".
Dari fakta-fakta tersebut nampak bahwa pihak Bizantium Timur,
Alexius, cukup berpengalaman dalam memaksakan keinginannya mempertahankan
daerah-daearah jajahannya. Dari pihak raja-raja juga sebenarnya hendak
mendirikan pemerintahan masing-masing. Perlawanan terhadap kekaisaran Bizantium
dibalas dengan pemboikotan bahan makanan, sehingga mereka tidak berdaya
menghadapi Kaisar Alexius itu, seperti terjadi terhadap Godfrey. Peselisihan
Emperor dengan Raymond tidak setajam dengan Godfrey karena dapat diredakan oleh
utusan Paus, Adhemar. Namun, perselisihan ini berlanjut ampai raja-raja
mengingkari janjinya. Ini merupakan kelemahan pihak tentara Salib, sehingga Paus
menjadi kecewa.
Pada permulaan 1097 tentara Salib mulai menyeberangi Selat
Bosforus bagaikan air bah. Mereka berkemah di Asia Kecil yang ketika itu
dikuasai oleh Dinasti Saljuq, Qolej Arslan. Mula-mula mereka mengepung pelabuhan
Naicaea selama sebulan sampai jatuh ke tangan tentara Salib pada tanggal 18 Juni
1097. Ini berarti Bizantium telah merebut kembali apa yang telah dikuasai dari
Antioch selama enam tahun. Tentara Bizantium di bawah pimpinan Emperor
mengadakan perundingan dengan penguasa kaum muslimin seputar penyerahan kota itu
kepadanya, dengan jaminan muslim Turki akan diselamatkan. Hal ini mengejutkan
tentara Salib karena merasa kalah cepat oleh kelihaian Emperor.
Tentara Salib terus maju. Pertempuran di Darylaeum (Eski-Shar)
meluas ke tenggara Nicaea sampai akhir 1097. Tentara Salib meraih kemenangan
karena Saljuq dalam keadaan lemah. Mereka berhsil memasuki selatan Anatolia dan
Provinsi Torres. Di bawah pimpinan Baldwin, mereka mengepung Ruha, yang penduduk
Armenianya beragama Kristen. Rajanya, Turus, telah melantik Baldwin untuk
menggantikannya setelah ia mati, sehingga Baldwin dapat menaklukan Ruha pada
tahun 1098.
Bohemond menaklukan Antioch, ibu kota lama Bizantium, pada
tanggal 3 Juni 1098 setelah susah payah mengepungnya selama sembilan bulan.
Antioch termasuk benteng yang sangat kuat karena secara geografis sangat
strategis--setelah konstantinofel-- dengan gunung-gunungnya yang mengelilingi
sebelah utara dan timur, dan sungai yang membatasinya. Jatuhnya Antioch dari
Yagi Sian (Saljuq) disebabkan oleh berpecah-belah dan lambatnya bantuan dari
Salajiqoh Persia (Karbugha), serta terjadinya pengkhianatan di dalam Antioch
sendiri oleh bangsa Armenia yang tentu memihak Kristen. Bantuan logistik dan
perlengkapan dari Inggris dan armada laut Genoa yang tiba di pelabuhan Suwaida
semakin memperkuat tentara Salib.
Bahemond telah menunjukan keberaniannya yang luar biasa. Ketika
tentara Salib mengalami krisis dalam pengepungan Antioch ini, ia pura-pura
bersedia pulang ke Italia. Dengan sendirinya tentara meminta-minta agar tidak
ditinggalkan oleh pemimpinnya, terutama pada saat yang kritis, ketika mendapat
serangan tentara gencar dari tentara Saljuq. Ia menuduh panglima Bizantium,
Titikios, telah mengkhianati tentara Salib karena mengadakan hubungan rahasia
dengan penguasa Saljuq-Turki untuk menghancurkan tentara Salib. Hal ini
menyebabkan kemarahan tentara Salib meluap-luap. Akhirnya, Tatikios dengan
tentaranya lari melalui pelabuhan Suwaida ke Pulau Cyprus karena takut dibunuh
tentara Salib. Nampaknya kali ini Bahemond berhasil menempatkan dirinya sebagai
satu-satunya panglima-- setelah mendapat pengalaman menghadapi kaki tangan
Emperor di Nicaea--sehingga ada alasan untuk tidak menyerahkan Antioch kepada
Emperor Bizantium. Di sini nampak persaingan kekuasaan antara Bizantium dan raja
Eropa.
Setelah penaklukan Antioch, Bohemond dapat menguasai
daerah-daerah sekitarnya. Raymond menguasai sebelah barat daya Antioch dan tidak
mau menyerahkannya kepada Bohemond, karena sebenarnya ia pun berambisi menguasai
seluruh Antioch. Krisis ini baru bisa diselesaikan setelah Raymond diserahi
pimpinan untuk penyerangan ke Yerusalem, karena ia mempunyai peluang untuk
menguasai daerah yang lebih luas di tanah suci itu. Akhirnya, Antioch berada di
bawah kekuasaan Kristen selama kurang lebih seperempat abad.
Dalam perjalanan ke Baitul Maqdis, Raymond mengadakan hubungan
kerja sama dengan amir-amir Arab, antara lain dengan Muwaranah yang memberikan
bantuan kepada tentera Salib. Pemerintah Tripoli dan Beirut juga memberikan
bantuan kepada tentara Salib, mungkin karena Solidaritas agamanya lebih
diutamakan daripada tanah airnya, atau karena tidak tunduk kepada tentara Turki.
Dalam tempo satu bulan, Yerusalem sudah dapat direbut pada tanggal 15 Juli 1099.
Kekalahan kaum muslimin Dinasti Fatimiyah yang menguasai Bait al-Maqdis sudah
dapat dipastikan, karena kota-kota penting yang merupakan pintu gerbang
satu-persatu telah ditaklukan. Jumlah tentara Salib jauh lebih banyak daripada
tentara Fatimiyah, yaitu 40.000 orang (20.000 orang merupakan tentara
terlatih).
Penaklukan Bait al-Maqdis oleh tentara Salib diwarnai dengan
pembantaian yang tak pandang bulu (indiscriminate massacre). Kaum
muslimin--meliputi semua umur dan jenis yang tak berdaya--dibantainya. K. Hitti
menuliskan, "Heaps of heads and hand feet were to be seen throughout the
street and squares of the city." Para ahli sejarah mencatat jumlah korban
pembantaian itu sekitar 60.000--100.000 orang lebih. Peristiwa yang kejam ini
(jika dibandingkan dengan penaklukan Shalahuddin al-Ayyubi dalam merebut kembali
Bait al-Maqdis) tentu menimbulkan pertanyaan, "Benarkah motivasi agama (Kristen)
menjiwai perang ini?"
Akhirnya misi tentara Salib tercapai, yaitu merebut Bait
al-Maqdis dan berhasil mendirikan pemerintahan, masing-masing Baldwin memegang
tampuk kekuasaan di Ruha (1098), Bohemond menguasai pemerintahan di Antioch, dan
Godfrey menjadi penguasa di Yerusalem, karena Raymond tidak terpilih menjadi
penguasa di sana. Godfrey meninggal dunia dan digantikan saudaranya, Baldwin I,
tanpa ada yang menyaingi karena Bohemond ditawan Raja Al-Ghazi Kamusytakin
Turki.
Meskipun Yerusalem telah dikuasai, peperangan di Syam terus
berlangsung. Raja Yerusalem menyerahkan kepemimpinan kepada Raymond (1101) untuk
menaklukan Tripoli di Syam. Kaum muslimin di Tripoli dapat mempertahankan
pengepungan Salib selama delapan tahun. Pada tahun 1109, Tripoli jatuh ke tangan
tentara Salib, tetapi Raymond tidak sempai menyaksikan kejatuhan kota itu karena
meninggal dunia (1105) ketika pengepungan mencapai puncaknya. Ia digantikan oleh
Wiliam Yordan, yang meninggal dunia pada tahun 1108. Wiliam kemudian diganti
oleh Bertrand. Pada zaman Bertrand, Tripoli dapat ditaklukan. Kota-kota penting
lain yang ditaklukan ialah Akka (ditaklukan pada tahun 1104) dan Sur (ditaklukan
pada tahun 1124).
--------------------------
Selama Perang Salib sudah nampak kelemahan di pihak tentara
Salib, yaitu perselisihan dan persaingan antara raja-raja dengan Emperor Alexius
dan persaingan antara raja-raja sendiri, apalagi ketika musuh bersama mereka
sudah tidak berdaya lagi. Kelemahan itu bertambah dengan kembalinya sebagian
besar tentara Salib ke Eropa.
Di pihak lain, kaum muslimin yang menyadari kelemahannya mulai
mengonsolidasikan diri. Dari selatan, tentara Salib mulai didesak oleh tentara
Mesir sehingga Ar-Ramlah dapat ditaklukan pada tahun 1102 melalui pertemperan
yang hebat. Dari utara mereka mendapat serangan dari kerajaan-kerajaan Atabek
yang didirikan di atas reruntuhan dinasti Salajiqoh, anatar lain Atabek
al-Mausal yang dipimpin oleh Imadiddim Zangi pada tahun 1127. Prof K. Ali pernah
menggambarkan pribadi Imaduddin Zangi, anak Sultan Malek Syah ini sebagai
berikut, "Ia lebih mencintai sadel kuda daripada tempat tidur sutera, lebih
senang menjadi pemimpin pertempuran daripada menikmati lagu dan musik yang
indah, dan lebih memilih berbicara dengan senjata daripada bersenda gurau dengan
wanita cantik." Ia mampu menahan perluasan kekuatan Salib, bahkan mampu
menyerang wilayah-wilayah yang dikuasai Kristen satu per satu, sehingga Ruha
(Edessa) dapat ditaklukan lagi pada tahun 1144. Edessa dianggap oleh orang
Kristen sebagai kota suci. Karena itu, di sana didirikan keuskupan. Ketika
Imaduddin dan tentaranya memasuki daerah itu, mereka tidak menghukum semua orang
Kristen, kecuali yang ikut berperang dan membantu tentara Salib Jerman.
Imaduddin dibunuh oleh tentaranya sendiri ketika beroperasi di Kalat-Jabir.
Putranya, Nuruddin Zangi, kemudian menggantikannya dan menjadikan Aleppo sebagai
pusat pemerintahannya. Pada masa Nurudin inilah terjadi Perang Salib II.
Paus Eugenius III memilih seorang dai, Padri Bernand, untuk
berbicara atas nama Paus. Ia pandai membakar semangat orang-oarang Eropa untuk
membantu orang-orang Salib di Timur. Padri ini berhasil mempengaruhi Louis VII,
raja Prancis, dan Conrand III, raja Jerman, untuk memimpin serangan baru
menyelamatkan wilayah Kristen di Syam itu. Baron-baron dari kedua negara itu
turut serta mengikuti jejak raja-raja mereka.
Tentara Jerman lebih dahulu bergerak menyeberangi Sungai Danube
menuju Konstantinopel. Di sana mereka disambut Emperor Manual yamng memiliki
semangat tanpa perhitungan matang dan tidak sepandai Alexius. Sesampainya
tentara Jerman ke Asia Kecil, dengan mudah tentara Islam menggempurnya sampai
sebagian besar tentara Jerman ini terbunuh. Demikian pula nasib tentara Prancis
yang sampai ke Konstantinopel, mereka mengalami nasib yang sama seperti tentara
Jerman--selain banyak yang mati karena wabah penyakit. Sisa-sisa tentara mereka
berangkat juga menuju Syiria hendak mengepung Damaskus. Akan tetapi, Nuruddin
Zangi dapat menghalau mereka. Kedua anak raja ini pulang ke Eropa, Perang Salib
II selesai.
Penyebab kegagalan tentara Salib adalah tidak adanya kerja sama
yang baik antara meraka. Satu dengan yang lain tidak saling mempercayai karena
masing-masing merasa khawatir kekuasaannya akan dicaplok, ditambah lagi wabah
penyakit terutama yang menimpa tentara Prancis, di samping serangan yang tidak
dilakukan secara serempak seaperti pada Perang Salib II.
Sejak Dinasti Zangi memegang kembali pimpinan, perimbangan
kekuatan berubah lagi. Kemenangan Nuruddin mempertinggi semangat untuk
menaklukan lagi wilayah-wilayah yang dikuasai Kristen. Pada tahun 1149, ia
menaklukan Antioch, pada tahun 1151 menaklukan Ruha (Edessa), dan tahun 1164
menawan Bohemond III dan Raymond III yang memerintah Tripoli. Kemudian, Nuruddin
mengambil alih Damaskus dari Muiddin Umar yang dianggapnya lemah dalam
menghadapi gerakan Salib, bahkan secara rahasia ia berusaha mengkhianati
Nuruddin. Yang penting pula Nuruddin mengirimkan seorang panglima yang gagah
berani, Asaduddin Syirkuh, ke Mesir dalam rangka memperkuat sayap kiri
menghadapi tentara Salib. Syirkuh diterima baik oleh rakyat Mesir dan Khalifah
Fatimiyyah. Ia diangkat sebagai perdana menteri, dan praktis memegang kekuasaan
pada tahun 1169. Namun, tidak lama kemudian ia wafat. Kedudukannya lalu
digantikan oleh Shalahuddin al-Ayyubi yang melanjutkan jabatan perdana menteri
pada masa Khalifah Al-Adhid. Di samping memperkuat sayap kiri barisan kaum
muslimin, Shalahuddin juga memberi peluang timbulnya dinasti Al-Ayyubi.
Peristiwa demi peristiwa terjadi pada masa kekuasaannya, sehingga Salahuddin
akhirnya menutup riwayat Khilafah Fatimiyah Syi'iyah. Ia berhasil mengembalikan
Mesir kepada Ahli Sunnah, dan tunduk kepada Khalifah Abbasiyyah di Baghdad.
Selanjutnya ketika Nuruddin Zangi meninggal dan digantikan anaknya, Ismail,
terbuka kesempatan bagi Shalahudin untuk mengambil alih kekuasaan. Ia berusaha
keras mengadakan konsolidasi, menggabungkan daerah-daearah yang belum tunduk
kepada kekuasaan Nuruddin. Penting juga untuk dicatat, dengan berkuasanya
Salahuddin di Mesir, pusat kekuasaan Islam beralih ke Selatan, sehingga Mesir
menjadi markas utama dalam melawan gerakan Salib. Hal ini disebabkan oleh
terjadinya perpecahan di kalangan pelanjut Nuruddin di Syam.
Di antara strategi dan taktik Salahuddin ialah mendahulukan
konsolidasi negara-negara Arab-Islam, termasuk Al-Nubah, Yaman, Hijaz, dan Syam.
Selain sebagai panglima militer, ia juga seorang politikus di zamannya. Ia
mempergunakkan taktik mengulur waktu melalui perjanjian damai dengan pihak
Salib. Sementara itu, ia melakukan konsolidasi kekuatan militer untuk mencapai
sasaran utama.
Setelah itu, baru Salahuddin melancarkan serangan-serangan ke
kubu kekuatan Latin. Pertama-tama, untuk mengamankan Mesir dari serangan sebelah
Barat, ia menaklukkan Afrika yang diduduki tentara Normandia. Karena sistem yang
tidak begitu kuat, dalam waktu singkat ia bisa menduduki Tripoli (Libya) dan
Tunis, bahkan kota Kobis pada tahun 568 H. Lalu, ia mengarahkan serangan demi
serangan ke Palestina. Salahuddin mencoba menyerang Balabak dan Damaskus,
kemudian Palestina (1117). Serangan-serangan ini gagal, bahkan Salahuddin
sendiri hampir tertawan. Ia kembali ke Mesir untuk mempersiapkan diri lebih
baik.
Ada dua peristiwa pertempuran penting yang menyebabkan nama
Salahuddin semakin harum, dan dengan sendirinya membuka pertahanan untuk
menerobos dan merebut kembali Bait al-Maqdis dari kekuasaan Salib. Pertama,
penaklukan benteng Ya'kub yang kokoh di Banyas--benteng itu merupakan sarana
penyokong bantuan. Sementara itu, Farukh Syah, keponakan Salahuddin, dapat
menaklukkan Damaskus dari Baldwin IV. Sementara pengepungan benteng Ya'kub makin
diperketat, Salahuddin juga mengirim tentera untuk menaklukkan Beirut dan Saida.
Pihak Latin terpaksa meminta perdamaian. Dalam hal ini siasat Salahuddin adalah
menerima sebagian dan menolak sebagian yang pernah mengkhianati perjanjian,
tujuannya untuk memecah kekuatan mereka. Selain itu, ia juga membenahi
kekuasaannya di Mausol dan Aleppo setelah wafatnya Al-Malik al-Salih, Sultan
Ismail Ibn Nuruddin. Kedua, pertempuran Hittin (1187) setelah Salahuddin
menaklukkan wilayah-wilayah lainnya, dan setelah Regional of Chatillon
mengkhianati perjanjian perdamaian, bahkan tenteranya melakukan
serangan-serangan yang membabi-buta terhadap jamaah haji kaum muslimin. Reginald
menawan kafilah haji, termasuk saudara perempuan Salahuddin. Hittin adalah suatu
lapangan yang dikelilingi bukit-bukit dan berdekatan dengan laut Tabariah.
Tentara Latin berjumlah 20.000 orang dipimpin oleh raja Bait al-Maqdis, Guy of
Lusignon, dan Reginald of Chatillon, penguasa benteng Karak. Namun, kaum
Muslimin berjaya dapat memenangkan pertempuran yang menentukan ini. Kekalahan
salib ini berdampak besar terhadap kekuatan tentara Islam. Sebaliknya, tentara
Salib semakin lemah, karena yang ditawan bukan saja prajurit biasa, melainkan
juga panglima-panglimanya, Guy dan Reginald. Oleh karena itu, penaklukkan
kota-kota lainnya, seperti benteng Tabariah, Akka, Al-Naisiriah, Qisariah,
Haifa, Saida, dan Beirut dilakukan dengan mudah, dan merupakan kulminasi atau
puncak reputasi Salahuddin yang ditakuti oleh pihak Salib.
Selanjutnya Salahuddin mengarahkan tentaranya menuju Jerusalem.
Pusat-pusat kekuatan yang akan memberikan bala bantuan dapat diamankan. Pada
mulanya Salahuddin ingin memasuki kota suci itu secara damai karena
mempertimbangkan kedudukan daerah ini yang bukan saja kota suci bagi Kristen,
tetapi juga kota suci agama samawi lain, termasuk Islam. Akan tetapi, pihak
penguasa Salib tidak mau begitu saja menyerahkannya, karena mereka merasa
bentengnya kuat, dan orang-orangnya banyak karena merupakan pelarian terakhir.
Salahuddin terpaksa harus menggempurnya. Ia mengambil posisi di Bukit Zaitun
sebagai markas tentaranya, dan memerintahkan agar menempatkan majanik-majanik di
atas bukit itu. Tentara Salahuddin menjadikan batu-batu bukit sebagai peluru.
Tentara-tentara Salib berlindung di benteng-benteng besar. Pasukan penerobos
berusaha memasuki benteng dengan keberanian yag luar biasa. Tidak ada jalan lain
bagi tentara Salib, kecuali menyerah dan mengadakan perundingan mengenai
pemberangkatan tentara Salib daru Jerusalem. Dalam tempo 40 hari, mereka harus
keluar dari Jerusalem dengan membayar semacam kerugian perang: laki-laki
membayar 10 dinar, perempuan 5 dinar, dan anak kecil 2 dinar setiap orangnya.
Dari fakta ini tampak kebesaran jiwa Salahuddin, yang mampu menguasai diri dan
anak buahnya untuk tidak mengadakan tindakan pembalasan di luar perikemanusiaan
seperti yang pernah dilakukan tentara Salib ketika merebut Jerusalem tahun
1099.
Sekumpulan istri para bangsawan dengan anak-anaknya datang
berbondong-bondong kepada Salahuddin agar suami atau bapak mereka dibebaskan
sehingga mereka bisa pulang ke Eropa dengan tenang. Mendengar ratapan ini
Salahuddin segera melepaskan suami atau orangtua mereka dengan rasa
perikemanusiaan yang tinggi. Sikap Salahuddin ini menambah harum namanya, baik
di mata lawan maupun kawan. Beberapa sejarawan Barat yang pernah menulis
ketinggian pribadinya, antara lain Stanley Lane Poole.
Akhirnya Jerusalem kembali ke pangkuan kaum muslimin. Suara
azan mulai berkumandang di Al-Masjid al-Aqsa, sementara lonceng gereja masih
sepi, turut berduka-cita. Anak buah Salahuddin menurunkan salib Emas dari
Al-Qubbah al-Sakhra, tetapi tidak memasang menara azan di Kanisah al-Qiyamah.
--------------------------
Tujuan utama Perang Salib adalah merebut dan mempertahankan
Jerusalem. Kini kota suci ini telah kembali ke pangkuan kaum muslimin.
Selanjutnya, meskipun ada persamaan antara Perang Salib I dengan Perang Salib
III, ada juga perbedaan-perbedaannya, di antaranya sebagai berikut.
Pertama, pada Perang Salib I, Paus yang menjadi penggerak utama
sekaligus dijadikan lambang dalam perang itu, sedangkan pada perang Salib III,
penggerak utamanya adalah kaum politisi, yaitu raja-raja Eropa Barat. Kedua,
pada Perang Salib I, faktor agama menjadi pendorong yang penting, sedangkan pada
Perang Salib III, faktor agama bukan menjadi penyebab. Pada Perang Salib III
banyak orang Eropa yang turut berperang agar terbebas dari kewajiban membayar
pajak. Pada Perang Salib II, Louis VII bahkan membebankan pajak 10% kepada
pemilik kendaraan yang tidak turut berperang. Demikian pula Philip Augustus dan
Richard the Lion's Heart, ia membebankan pajak--yang disebut "Dana Cukai
Shalahuddin"--kepada ahli agama dan masarakat umum. Paus pun giat mengumpulkan
"Dana Perang Salib" sambil mengeluarkan fatwa bahwa orang yang tidak mampu
berperang harus memberikan dana, dan akan diampuni segala dosanya sebagaimana
orang yang turut berperang. Kepada setiap penderma diberikan "Sertifikat
Pengampunan". Akhirnya, gereja menjadi sumber dana yang penting. Ketiga, pada
Perang Salib I, jumlah tentara salib cukup besar. Mereka begitu serempak dan
bersatu menghadapi tentara muslim Saljuq yang lemah dan berpecah belah,
sedangkan keadaan pada Perang Salib III sebaliknya.
Orang-orang yang memimpin Perang Salib III adalah raja-raja
Eropa terkenal:
(1) Raja Jerman Frederik Barbarosa,
(2) Raja Inggris Richard the
Lion's Heart
(3) Raja Prancis Philip Agustus. Yang paling menonjol dan
enerjik adalah Frederik II yang memilih jalan darat menuju medan perang,
menyeberangi sungai dekat Armenia, Ruha. Tetapi nasibnya malang, ia tenggelam
ketika menyeberang. Karena tidak ada pelanjut kepemimpinan yang bisa diandalkan,
sebagian besar tentaranya kembali ke Jerman.
Tentara Inggris dan Prancis yang bergerak menuju jalan laut
bertemu di Saqliah. Richard menuju Cyprus kemudian ke Palestina, sedangkan
Philip langsung ke Palestina, dan mengepung Akka dengan bantuan sisa-sisa
tentara Frederik. Dalam pengepungan ini turut pula orang-orang Latindi Syam di
bawah pimpinan Guys yang pernah mengadakan perjanjian damai dengan Shalahuddin.
Berkat dukungan tentara Richard dan angkatan lautnya, Akka dapat direbut.
Tentara Salib melakukan pembunuhan besar-besaran meskipun setelah itu tidak ada
lagi serangan militer. Perang salib ini diakhiri dengan perjanjian Ramalah
(1192) yang isinya menyisakan sedikit tanah untuk orang Kristen di pantai yang
berdekatan dengan Akka--memanjang dari Sur sampai Haifa--membolehkan jemaah haji
Kristen berziarah ke Yerusalem tanpa membawa senjata, dan Shalahuddin menguasai
wilayah yang ditaklukannya termasuk Ludd, Ar-Ramlah, dan Asqolan.
Tidak lama kemudian, Maret 1193, Shalahuddin meninggal dunia
setelah mengalami sakit di Damaskus dengan meninggalkan wilayah kekuasaan yang
cukup luas. Qodi Ibnu Syaddad menggambarkan keadaan duka cita kaum muslimin,
"Islam dan kaum Muslimin tidak mendapatkan musibah yang setara dengan wafatnya
Shalahuddin semenjak mereka kehilangan Khulafa ar-Rasyidin?."
Antara Perang Salib III dengan Perang Salib IV ada kondisi yang
khas, yakni (1) gereja berusaha mengembalikan kepemimpinan, tetapi Henry VI,
seorang politikus yang ulung, dapat mengganjal usaha ini; (2) perselisihan baru
terjadi antara kalangan militer Latin di Syam; (3) di pihak Islam pun terdapat
kelemahan, karena Shalahuddin, sebelum wafatnya, telah membagi-bagikan wilayah
kekuasaan kepada para pelanjutnya. Damaskus dan bagian selatan Syria diserahkan
kepada Al-Malik al-Afdal (1193-6), Mesir kepada Al-Malik al-Sahir (1993--1215);
sedangkan saudara Shalahuddin, Al-Malik al-'Adil, memperoleh Karak, Jordan,
Jazirah, dan Diyar Bakr--nampaknya wilayah terakhir ini kurang penting sehingga
kurang menyenangkan Al-'Adil. Keluarga Al-Ayubi lainnya juga mendapat warisan
daerah kekuasaan sampai Jazirah Arabia dan Yaman. Akhirnya, terjadi perselisihan
antara putra-putranya dan Al-'Adil, diakhiri dengan kemenangan Al-'Adil terhadap
keponakan-keponakannya itu (1199--1218). Demikianlah peta pembagian kekuasaan
sampai datang serangan Mongol (1260).
Perang Salib IV (1202--1204)
Pada masa Paus Innocent III, gereja tetap mengobarkan kembali
perang Salib. Dalam hal semangat dan kepemimpinan, perang ini bercorak Prancis
seperti Perang Salib I. Target perang ini diarahkan ke Mesir, dengan
pertimbangan: (1) kekuatan Islam sudah beralih ke Mesir, karena itu Mesir harus
dikuasai dulu; (2) penaklukan Mesir akan membawa keuntungan perdagangan untuk
para pedagang Italia--jika langsung menguasai Jerusalem, orang Mesir akan
melakukan tindakan pembalasan terhadap para pedagang di Delta Nil, Dimyat, dan
Alexanderia.
Ketika tentara Salib di Venice (1202) bersiap hendak menuju
Mesir, tiba-tiba semua pasukan diperintahkan untuk menyerang Konstantinopel pada
bulan Juli 1203, dan merebutnya pada bulan April 1204. Setelah itu, Baldwin VII
diangkat sebagai Emperor Latin I di Konstantinopel. Kekuatan ini berkuasa selama
60 tahun.
Perang Salib V (1218--1221)
Perang Salib ini merupakan lanjutan Perang Salib I dan IV,
dengan sasaran utamanya Mesir. Saat itu Mesir berada di bawah Pemerintahan
Al-Malik al-'Adil, yang meninggal dunia (1218) setelah tentara Salib menguasai
menara Al-Silsilah. Al-Malik kemudian digantikan oleh putranya Al-Malik al-Kamil
(1218--1238).
Al-Malik al-kamil menghadapi gangguan dari dalam, yaitu
konspirasi yang dipimpin oleh seorang panglima yang berasal dari Kurdi, Ibn
Masytub, yang hendak menyisihkannya. Ia lalu melarikan diri ke Yaman. Namun
Karena bantuan adiknya, Al-Malik Mu'azzam dari syam, ia bisa kembali menduduki
tahta kesultanan Mesir. Tantangan dari luar--selain dari tentara Salib--adalah
tentara Mongol yang mulai menguasai dunia Islam bagian Timur, Khawarizami,
negeri-negeri Transoxiana, dan sebagian negeri Persia pada tahun 1220. Serangan
Mongol ke Baghdad pun dimulai.
Kedudukan tentara Salib sebenarnya baik karena banyaknya
rombongan besar menggabungkan diri atas seruan Paus Innocent III yang
dilanjutkan oleh Paus Honorius III. Raja Juhanna de Brienne dan Wakil Paus,
Plagius, memimpin pasukan ini. Dimyat bisa segera mereka kuasai pada tahun 1218.
Namun, serangan belum dilanjutkan menuju Kairo karena menunggu bantuan Frederik
II dalam perajalanan untuk menopang serangan selanjutnya.
Karena situasi yang mencekam, sebagaimana digambarkan di atas,
ditambah situasi ekonomi yang sulit, terutama karena surutnya sungai Nil, Mesir
diancam bahaya kelaparan. Al-Kamil pun mengajukan permintaan perdamaian. Ia
mengajukan tawaran menyerahkan Jerusalem dan hampir semua kota yang ditaklukan
Shalahudin kepada pihak Salib asalkan mereka (pihak Salib) menarik diri dari
Dimyat. Tawaran yang begitu menguntungkan pihak Salib itu ditolak, bahkan mereka
akan menguasai seluruh Mesir dan Syam. Penolakan ini terutama dikemukakan oleh
utusan Paus, Pelagius, yang ditopang oleh Italia, karena kepentingan
perdagangannya terancam di Mesir. Tidak ada pilihan bagi Al-Kamil: hancur atau
menang. Timbullah ide yang kemudian dilaksanakannya, yaitu menghancurkan dam-dam
irigasi yang menuju Dimyat. Akhirnya banjir pun melanda seluruh Dimyat. Banyak
tentara Salib yang tenggelam. Mereka terancam bahaya kelaparan. Karena bantuan
Frederik II yang diharapkan tak kunjung datang, tentara Salib pun meninggalkan
Dimyat tanpa syarat.
Sumber: Gerakan Kembali ke Islam; Warisan Terakhir A. Latief
Mukhtar, K.H. Abdul Latief Mukhtar, M.A.
Terimakasih kepada Al Islam 1998
Jl. Pahlawan Revolusi, No 100, Jakarta 13430
Jl. Pahlawan Revolusi, No 100, Jakarta 13430
==========================================================================================
No comments:
New comments are not allowed.